Mengoptimalkan Peran Struktur Melalui Pendekatan Emosianal Terhadap Kader



Indonesia merupakan negara yang meliki jumlah penduduk terbanyak di dunia dan juga memiliki keaneka ragaman suku, budaya, dan juga agama. Adapun keragaman rakyak Indonesia nyatanya telah membuat sebuah keadaaan dan tradisi pada masyarakat yang beragam. Baik keunikanan sifat dari suatu kelompok masa tersebut ataupun dari sifat individunya senidiri. Pada tahun 1977, Mochtar Lubis pernah membagi sifat orang Indonesia namun kebanyakan yang ditampilkannya lebih  banyak adalah sifat kejelekan seperti hipokrit, tidak bertanggung jawab, feodal, dan boros. Namun ada beberapa sifat baik dari orang Indonesia seperti artistik.[1] 
Artistik yang dimaksud adalah seni dalam menjalani kehidupan yang dijalani oleh orang Indonesia dalam menjalankan Indonesia itu sendiri. Prestasi-prestasi yang banyak membawakan nama baik Indonesia setiap ada event nasional ataupun internasional. Baik dalam cangkupan bidang pendidikan, olahraga, bernyanyi, dan seni yang lain sebagainya. Belum lagi pekerja-pekerja Indonesia di luar negri yang sangat dimanjakan oleh persahaannya karena tekun dan gigih. Namun sayang, prestasi-presatsi yang disebutkan hanya sebagian kecil dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang maha banyak ini. Sangat ironis jika kita bandingkan dengan negara tetangga misalnya. Contoh Singapura, dengan wilayah kurang dari luas wilayah Provinsi Banten mislanya, ternyata mereka mampu menjadi negara maju di kawasan Asia Tenggara. Pulau kecil tersebut juga telah menjadi pelabuhan transit untuk kapal-kapal internasioal. Padahal Indonesia sendiri yang terletak sangat strategis di antara 2 benua dan 2 samudra, serta memiliki panjang garis pantai terpanjang di dunia yakni 99 ribu km. Masih belum mampu bersaing oleh negara kecil di tetangganya apalagi harus menghadapi negara di benua lainnya yang tidak hanya sektor industri saja, melainkan banyak sektor seperti dirganatara, teknologi, pertanian, dan lain-lain.
Kekayaan alam yang melimpah yang tidak sebanding dengan banyaknya sumber daya manusia secara kualitas. Bahkan kekayaan alam ini yang membuat orang terkadang menjadi rakyat malas. Jangankan berpikir untuk berpikir untuk mensejahterakan orang lain, untuk memikirkan diri sendiri saja tidak ada terlintas dalam pikiran. Maka harus terbentuklah pemikiran visioner yang dimana rakyak Indonesia untuk maju berdiri dengan kaki sendiri dan dapat bersaing secara internasional. Maka diharapkan rakyat Indonesia dapat berpikir kritis dan memiliki wawasan yang ada di kehidupan tapi juga mampu  mengayomi segala bentuk sosial. Oleh karena itu, pengkaderan sangat penting untuk membetuk  kader yang berkompenten dan unggul sehingga dapat menciptakan masa depan Indonesia lebih baik. Termasuk menciptakan kader-kader yang memiliki potensi tinggi dalam menjalankan pembangunan negara, tapi juga mampu menciptakan kader-kader lebih baik  berikutnya. Khususnya generasi muda yanag akan menjadi estafet dalam kepemimpinan yang  sedang menjalang pendidikan yang lebih tinggi di tingkat perkaderan yang lebih tinggi –yakni mahasiswa, sehingga menjadikan suatu pengkaderan adalah sebuah keharusan untuk dilaksanakan. Karena mahasiswa dalam perjuangan merupakan agent of change, iron stock, dan control social.
Hal-hal yang terkait dalam kehidupan sangatlah kompleks untuk dan perlu dihadapi oleh mahasiswa itu sendiri yang sehingga analisa dan keputusan dalam bertindak menjadikan agenda rutin sebagai bentuk evaluasi dan pengawasan dalam tindakan para eksekutor pemerintahan. Dan pada akhirnya akan terbentuk sebuah program yang soluktif dan berdampak jangka panjang. Kesadaran kolektif ini, pada akhirnya mampu membawa kepada kesadaran struktural.[2]
Oleh karena terciptanya pengkaderan ini mahasiswa akan mampu dalam menjalankan aksinya akan berpikir sebelum bertindak, mengkaji, dan memahami para pejuang dalam negri maupun luar negri. Salah satunya, gerakan sosialis pertama kali muncul di Francis setelah terjadinya revolusi yang dipimpin, Francoies Babeuf, Filippo Buonarrotti dan Louis Auguste Blanqui. Tujuan gerakan ideologi yang mereka perjuangkan adalah bagaimana mengonsep sistem masyarakat yang ideal, dimana segala bentuk kejahatan ekonomi, politik dapat dilenyapkan. Dan memposisikan peran Negara sebagai alat untuk menciptakan kemakmuran bagi seluruh masyarakat, pada awalnya sosialisme merupakan sebuah reaksi minoritas terhadap peleksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri.[3] secara sederhana, historisitas dari munculnya sosialisme untuk memberikan sebuah pandangan bahwa eksploitasi merupakan tindakan yang tidak bermoral. Selain itu, gagasan sosialisme adalah sebuah gagasan yang menuntut adanya  pemerintahan yang lebih baik.[4]
Menjadikan sistem masyarkat ideal, IMM dapat dijadikan wadah pengkaderan khususnya bagi mahasiswa itu sendiri. Selain mewujud akdemis yang berakhlak mulia dan tujuan Muhammadiyah . Tetapi juga meorientasikan kader yang lebih tertata rapi dan membangun kesadaran kolektif dan memahami segala hal yang dilakukan di IMM sebagai wujud perjuanagan. Dikarenakan kepentingan, identitas, dan kebersamaan dalam menjalankan visi perjuangan yang sudah menjadi nilai yang melekat secara baik dan kuat.[5]
Kasih sayang adalah bentuk akhlak yamg mulia sedangkan perpecahan adalah dampak yang buruk dalam persaudaraan apalagi hubungan antara kader dengan instruktur IMM. Hal ini disebabkan akhlak yang baik mendatangkan rasa saling cinta, perasaan bersatu, dan harmoni. Apalagi tidak diragukan lagi pada akhirnya buah kasih sayang ini mebentuk rasa kedengkian terhadap sesama. Karena pepatah mengatakan bila pohon baik, buah pun baik terlebih jika diikat denga dan cinta kepada Allah.[6]
Pembinaan kader di IMM pada dasarnya telah dicontohkan oleh pendiri Muhammadyah itu sendiri yakni Kiai Ahmad Dahlan dengan interaksi langsung. Bahkan lebih jauh lagi yakni pada zaman Rasulullah saw. di rumah (baitul) Arqam- rumah sahabat nabi pada saat itu. Sehingga nama sahabat nabi tersebut dijadikan nama pengkaderan oleh IMM dalam pengakaderan utama IMM yang memiliki beberapa tingkat seperti dasar, madya, dan paripurna. Pengkaderan itu sendiri adalah pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup sesorang dan mencetak kader yang sesuai dengan tujuan dari pengkaderan itu sendiri, khusnya bagi IMM. Tujuan dari IMM itu sendiri tidak lepas dari oleh Muhammadiyah yang dimana terdapat pemikiran-pemikiran dari Kiai Ahmad Dahlan. Sehingga pengajaran pokok dalam pengkaderan IMM berisi ajaran Islam dan pendidikan Islam itu sendiri. Lalu dituntut fungsi akal dan kecerdasan mahasiswa sebagai mahasiswa yang berinteletualitas dengan belajar mandiri. Sehingga IMM ini sebagai wadah bagi para kader untuk berdakwah di jalan Allah. Karena sasaran utama pengajaran Islam dan dakwah adalah perbaikan budi, pengendalian nafsu dan keinginan, dan kemerdekaan berfikir.
Pendekatan secara persaudaan sangat penting bagi instruktur dan juga kader itu sendiri. Mengingat ada beberapa hal tujuan daalam persaudaan tersebeut. Menurut Al Ghajali  persaudaraan karena Allah dan Persaudaraan karena dunia. Persaudaraan karena Allah  menjadi sebab terjadinya persahabatan karena agama seningga terjadi karena memang diinginkan dan dimaksudkan. Pada dasarnya persahabatan merupakan pertemuan  yang tidak dapat diungkapkan seseorang tertentu terhadap orang lain jika ia menyukainya entah sama-sama suka tanpa tujuan ataupun memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai. Walaupun pada dasarnya tujuan yang dimaksud mengenai urusan dunia dalam menjalankan professional terhadap mendidik dan mengkader para kadernya untuk menjadi manusia yang idealis untuk mengembangkan dakwah Muhammadiyah, yakni faham dan cita-cita Muhammadiyah. Tetapi hal yang terpenting dalam hubungan persaudaraan jika tujuan tersebut menjangkau tujuan ke akhirat dan adakalanya berhubungan dengan Allah Awt karena segala bentuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tetap berlandaskan agama Islam yang hanif dan berkarakter rahmatan lil ‘alamin.
Posisi IMM sebagai gerakan mahasiswa  Islam dan gerakan social yang dituntut untuk memahami gerakan taktis dan gerakan strategis. Pengetahuan sangat perlu diberikan kapada kader dari unstruktur ketika terjadinya proses pengkaderan berlangsung. Walapun materi yang dilakukan disampaiakan secara tidak langsung atau dilakukan secara aksi demostrasi, misal dalam pengkaderan formal DAD. Pengkaderan ini merupakan sumbu gerakan , tanpa adanya pengkaderan maka sebuah organisasi ini akan hilang karena ketiadaan para regenerasinya dan lenyapnya semangat gerakan yang menyatu.
Ketika terlaksanya proses pengkaderan maka akan terjadi senior dan junior dalam suatu organisas. Walaupun tidak bisa dihilangkan dalam dunia organisasi. Maka huibungan antara yang lebih lama mengikuti organiasi IMM (senior)  dan yang baru menjadi kader IMM (junior) perlu dilanjutakan dalam berhubungan secara interakstif hingga membentuk chemistry yang tidak bisa dilepaskan. Mungkin bisa dimulai melalui dengan perbuatan yang sederhana misalnya percakapan. Pendekatan melalui percakapan ini bukan dimaksudkan untuk mengetahui pengetahuan atau wawasan kader terhadap suatu peristiwa atau basa-basi tetapi menggali lebih dalam lagi mengenai hubungan dalam persaudaraan. Menurut Dr, Haim G. Dinnot, bahwa prinsip percakapan adalah hubungan, perasaan, dan hal-hal yang spsifik. Hubungan kemesraan ini perlu tidak hanya tepaku pada suatu sistem alam menjalankan pengkaderan saja tetapi juga untuk membentuk ukhuwah. Sehingga kader tidak perlu lagi harus canggung ataupun malu untuk bergabung dan juga begaul. Dalam menghadapi peristiwa semacam ini, sebenarnya jauh lebih baik daripada menggapi peristiwa atau kemampuan menganalisa para kader. Hubungan yang baik akan mempermudah ketika seseorang memberikan pendidikan secara tekstual dan kontekstual. Sehingga kader dapat menemptakan posisi dirinya dalam berhubungan instruktur.
Menanggapi perasaan kader ketika mewati proses dalam menjalankan organisasi. Banayak yang akan dilalui para kader, hal ini  harus disadari betul.. Pengalaman seseorang ini sangat penting sebagai evaluasi para kader dalam menjalankan organisasi. Pengalaman-pengalaman tadi bisa diberikan baik berupa sharing ataupun diskusi sebagai saran-saran yang membangun, Namun kenadala yang harus dihadapi adalah setiap orang mempunyai perbedaan cara pandang hidup, pemikiran, dan kebiasaan. Sehingga ketika berbagi persaaan pengalaman di organisasi, kader akan menangkap dengan sudut yang pandang yang berbeda. Pengenalan adalah hal yang sangat penting dan sangat diutamakan dalam suatu komunikasi yang lebih serius bahkan sebagai upaya berlancarnya pendekatan emosianal.
Komunikasi sangat banyak macamnya, baik secara verbal ataupun nonverbal, baik tertulis ataupun lisan. Tapi sangat dianjurkan untuk dapat berkomunikasi secara langsung, misalnya berbicara.Berbicara mencangkup pengajaran dan pemberian nasihat, sebab itu adalah hal yang sangat penting dibutuhkan oleh kader atau tidak. Karena kewajiban para instruktur memberikan ilmu yang lebih dibandingkan para kader walaupun mungkin terdapat beberapa kader memiliki wawsan kemuhammadiyahan lebih baik daripada instruktur entah mereka berasal dari ortom Muhammadiyah seperti HW, IPM, dll. Namun Instruktur diharapkan dapat menjelaskan perbedaan organisasi IMM dibandingkan dengan orto-ortom Muhammadiyan ataupun organisasi eksternal lainnya. Selain itu, yang terpenting bagi instruktur itu sendiri adalah dapat mengajarkan urusan keagamaan dan keduniaan Apabila ketika telah disampaikan pengajaran dan juga pelatihan, namun kader masih meimiliki kesalahan atau dengan kata lain telah melakukan suatu perbuatan yang kita persepsi kan salah dan tidak sesuai dengan pengajaran yang disampaikan. Itu adalah kewajiban para instruktur untuk menasehatinya apalagi kesalahan tersebut bukan kesalahan kecil tetapi kesalahan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku pada masyarakat.  Tapi menasehati disini bukan berarti bersifat menggurui tetapi bisa menunjukkan kepada mereka mudarat perbuatannya dan manfaat yang akan didapat nya bila itu ditinggalkan atau juga bisa diperingatkan kencaman dengan hal-hal yang tidak disukainya di dunia dan kencaman dari Allah di akhirat.  Ataupun bentuk nasihat yang lebih kasar lagi, dapat berupa mengarahakan perhatiannnya kepada kekurangan-kekurang dirinya ataupun mencela hal buruk dan menyetujui hal baik dalam dirinya. Tetapi semua itu harus dilakukan secara tertutup, jika dilakukan di depan umum secara umum saja untuk mempermalukannya. Jika dilakukan  dengan empat mata, maka itu lebih baik dalam menasihati. Instruktur perlu peka teradap para kader apakah mereka menerima nasihat dengan baik atau menolaknya. Jika kader sudah menolaknya, entah dengan alasan tidak suka terhadap kita secara subjektif atau hal-hal yang lain. Maka buatlah nasihat yang umum tanpa menjurus pada orang tertentu. Berapun besarnya kebaikan dan kemurahan merkea, hal itu perlu disyukuri. Maka mulailah mencari simpati para kader dan tetap terus membenah diri.
Nabi saw. bersabda, “Mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.” Artinya, orang dapat melihat diriya dari orang lain apa yang tidak dapat dilihatnya sendiri. Jadi, instruktur dapat memperoleh keuntuntungan dari para kader untuk mempelajari kesalahan diri, seperti dia dapat memanfaatkan cermin untu mengtahui kekurangan dari sifat yang dimilikinya.[7]
Interaksi kepda para kader sangat diharuskan oleh instruktur dengan etika yang baik dan memeperlakukan orang sesuai dengan kader masing-masing. Instruktur harus jeli dengan kader baru mengenai sikap dan pola pikir yang cukup berbeda dengan kondisi kader sesamanya. Sehingga instruktur diharapkan bisa beradaptasi terhadap penyampaian secara kultural tanpa mengurangi kebijakan instrutur itu sendiri. Modal senyum, ramah, dan santun adalah hal yang wajib bagi para kader miliki termasuk instruktur. Ketika instruktur mendapakan hak berupa penghormatan dari para kader itu sendiri, maka perlu instruktur melakukan hal yang sama pula tapi dengan catatan kedudukan ilmu dari masing-masing kader. Penyesuaian yang sangat perlu dilakukan oleh instruktur terhadap teman seperjuangan, para kader, ataupun teman-teman organisasi luar lainnya. Selanjutnya adalah kuantitas interaksi antara instruktur dengan kader sangat perlu dioptimalkan, baik dilakukan secara alat bantu komuniksai maupn pertemuan langsunga bahkan rutin.
Oleh karena itu, pengkaderan sangat penting dilaksanakan dalam semua lapisan kalangan termasuk organisasi IMM. Mewujudkan kader ideal dan mempunyai daya saing yang tinggi. Walaupun setiap pengkaderan yang dilaksanakan memiliki perbedaan-perbedaan tujuan, pada dasarnya adalah membentuk wawasasn pengetahuan, seperti kepemimpinan, politik, sikap kritis, dan lain-lain yang digunakan untuk kepentingan bersama.
Pengkaderan tidak bisa terwujud jika tidak ada yang mengkader, karena peran itu harus ada dan teruskan oleh kader-kader selanjutnya. Tidak terkecuali oleh IMM, para instruktur tidak hanya mampu menguasai materi-materi pengkaderan-pengkaderan saja. Tapi juga mampu membawa kedekatan emosi utuk merekatkan ikatan. Sehingga tidak ada kekakuan hubungan antara instruktur dan kader.

Ryan Muslim Alhakim. 2018















 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahmadi,Makrus dan Aminuddin anwar. “Genealogi Kaum Merah: Pemikiran dan Gerakan”. Yogyakarta: Rangkang Education dan MIM Indigenous School

Al-Ghazali, Imam. Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja.Jakarta: Zaman

Nadia, Asma dkk. Jendela Cinta.Jakarta: Gema Insani

Nadjib, Emha Ainun.2015.Kagum Kepada Orang Indonesia”, Yogyakarta: Bentang

Supriyadi, Eko. 2003. Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati.Yogyakarta: Pustaka Pelajar





[1]Emha Ainun Nadjib. “Kagum Kepada Orang Indonesia”, hlm
[2] Makrus Ahmadi dan Aminuddin anwar. “Genealogi Kaum Merah: Pemikiran dan Gerakan”. Hlm 7
[3] Reaksi tersebut muncul karena adanya dominasi kaum borjuis terhadap masyarakat bawah dan dominasi tersebut menyebabkan penindasan yang sewenang-wenang dan menyebabkan timbulnya klasifikasi sosial dalam masyarakat. Lihat, Supriyadi, “Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati”, hlm. 6.
[4] Supriyadi, “Sosialisme Islam; Pemikiran Ali Syari’ati”, hlm. 7.
[5] Makrus Ahmadi dan Aminuddin anwar. “Genealogi Kaum Merah: Pemikiran dan Gerakan”. Hlm 7

[6] Imam Al Ghazali, Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja (Jakarta: Zaman, 2009), 10.
[7] Imam Al Ghazali, Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja (Jakarta: Zaman, 2009), 100.

Komentar

Posting Komentar