RIDAK (Ringkasan Dakwah) I: Mahram



Bismillah kuawali tulisan ku, sebagai merivew setelah mendapatkan kajjian. Pada konten ini sebagai satu diantara dakwah Islam. Mohon maaf sebelumnya bukan bermaksud menjadi bahan referensi, tapi ini adalah salah bentuk saya belajar dengan cara menuliskan kembali. Semoga Allah memberikan kekuatan istiqomah agar saya terus belajar dan menulis.
Ini konten pertama saya dalam menyapaikan pesan-pesan religi. Dimulai dari kajian agama yang baru saya ikuti di Masjid Hj. Nuriyyah, Banjarbaru. Di Banjarbaru memiliki beberapa masjida yang pada dasarnya memiliki jadwal rutin kajian agama. Kebetulan saya hari ini ingin memulai menulis dengan konten dakwah, dan kebetulannya lagi ba’da Magrib ada kajian agama di Masjid Hj. Nuriyyah setiap Sabtu Malam. Pada 30 Maret 2019, kajian di masjid tersebut yang saya ikuti dan catat secara seksama. Lalu saya review lagi sebagai mengulang materi yang telah disampaikan.
Materi tersebut mengenai Mahram. Mohon maaf sebelumnya karena tidak menuliskan pemateri pada kajan tersebut, karena saya ketinggalan info ketika penyampaian nama pemeteri. In Sya Allah akan saya sampaikan pesan tersebut secara point-pointnya saja. Kebetulan di laptop saya mempunyai aplikasi Al-Qur’an di laptop saya, mungkin nanti bisa menanpaikan dalilnya. Namun untuk hadist, saya hanya bisa menampilkan dalam bentuk artiannya saja.
Mahram adalah 2 orang atau lebih antara laki-laki dan perempuan yang mereka mempunyai hukum untuk tidak boleh menikah. Mahram dibedakan menjadi 2 yaitu mahram muabbad dan mahram gairu muabbad. Mahram muabbad adalah hukum bagi laki-laki dan perempuan untuk tidak boleh menikah selama-lamanya. Sedangankan hukum  gairu muabbad adalah hukum bagi laki-laki dan perempuan untuk tidak menikah pada kurun waktu tertentu. Ketika hukum berlaku pada seseorang yakni mahram muabbad, maka akan berlaku konsekuensinya adalah :
1.       Boleh bersentuhan.[1]
2.       Boleh berdua dalam suatu keadaan atau tempat.[2]
3.       Boleh bersafar bersama-sama.[3][4][5][6]
4.       Boleh membuka auratnya (sewajarnya, misalnya memperlihatkan rambutnya saja).
5.       Boleh bertatapan muka.[7]
Hal ini tidak berlaku bagi mahram gairu muabbad.

Mahram muabbad memiliki pembagiannya masing-masing yang terdapat dalam Q.S. An Nisa: 23.
Artinya:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An Nisa: 23)

Pembagian mahram muabbad dibagi menjadi 3 yakni
1.       Berdasarkan nasab.
2.       Akibat pernikahan.
3.       Sebab persusuan
Pembagian mahram muabbad karena nasab atau satu darah atau satu rahim. Oleh karena itu laki-laki dilarang menikahi 7 golongan ini yakni:
1.       Ibu-ibu mereka. Maksudnya adalah ibu, nenek, buyut, dan sampai ke atas garis keturunannya.
2.       Anak-anak perempuan mereka. Maksudnya adalah anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, cicit perempuan, dan sampai ke bawahnya.
3.       Saudara-saudara perempuan. Saudara perempuan dibagi menjadi 3 pembagian yakni saudara-saudara perempuan se-ayah dan se-ibu (saudara kandung), saudara-saudara perempuan se-ayah, dan saudara-saudara se-ibu.
4.       Bibi-bibi dari saudara ayah.
5.       Bibi-bibi dari saudara ibu.
6.       Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakkan).
7.       Anak-anak perempuan dari saudara perempuan (keponakkan).

Pembagian mahram muabbad karena adanya tali pernikahan dan sifatnya selamanya untuk dinikahi. Oleh karena itu laki-laki tidak boleh menikahi  4 golongan ini, yakni:
1.       Istri-istri ayah.
2.       Ibu dari istri-istri (mertua), baik ibu istrinya, nenek istrinya, buyut istrinya, dan seterusnya sampai ke atas.
3.       Istri-istri dari anak laki-lakinya (menantu)
4.       Anak-anak perempuan dari istrinya (anak tirinya), dengan syarat bahwa laki-laki tersebut telah menikahi dan menggauli ibu dari anak tirinya.
Pembagian mahram karena sebab persusuan, hal ini adalah hal yang sangat urgent yang disebabkan telah berlaku hukum-hukum mengenai mahrah yang berlaku. Alangkah baiknya ketika seseorang telah melakukan persusuan dengan orang lain, perlu dicatat. Adapun menurut ulama syarat, berlaku hukumnya mahram muabbad jika bayi laki-laki tersebut diisusui sampai mengenyangkan sebanyak 5 kali. Adapun seorang laki-laki dilarang menikahi 7 golongan ini, yakni:
1.       Wanita yang menyusuinya (ibu persusuan).
2.       Anak-anak perempuan dari wanita yang menyusuinya.
3.       Saudara-saudara perempuan dari wanita yang menyusuinya.
4.       Ibu dari wanita yang menyusuinya. (ibu, nenek, buyut, dan keturuan atas nya)
5.       Ibu dari suami wanita yang menyusuinya. (ibu, nenek, buyut, dan keturuan atas nya)
6.       Saudara-saudara perempuan dari suami wanita yang menyusuinya.
7.       Seluruh bayi perempuan yang disusui oleh wanita yang menyusuinya.

Pembagian mahram gairu muabbad ada 3 golongan yakni :
1.       Saudara ipar.
2.       Bibi-bibi dari istri.
3.       Keponakan-keponakan perempuan dari istri.
Ada beberapa catatan mengenai mahram gairu muabbad, pernikahan terhadap mahram gairu muabbad ( 3 golongan di atas) dapat terjadi jika seorang pria tersebut telah menceraikan istrinya atau istri tersebut meninggal. Oleh karena itu ada dalil jika kita harus waspada jika kita tinggal dengan saudara ipar (yang berlawanan jenis). [8]
Cukup sekian dari ringkasan dari saya jika ada info atau saran silahkan komen.....hheheehehhe
Billahi Fii Sabililhaq
Fastabiqul Khairat



[1] Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (H.R. Thobroni dalam Mu’jam Al kabir 20:211. Syaikh Al Bani mengatakan bahwa hadist ini shahih).
[2] “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan sekali-kali ia berdua-duan dengan wanita (ajnabiyah/ yang bukan mahram) tanpa disertai oleh mahram si wanita kerana yang ketiganya adalah setan.”(H,R. al-Bukhari dan Muslim)
[3] “Jangalah wanita safar (berpergian jauh) kecuali bersama dengan mahramnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai mahramnya. Maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah Saw sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti perang anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/172), Muslim (hlm. 978) dan Ahmad I/222 dan 246]
[4] “Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama dengan mahramnya”.[H.R. Imam Bukhari (1087), Muslim (hlm 970), dan Ahmad II/13;19;142-143;182 dan Abu Daud]
[5] “Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim (hlm 487) dan Ahmad II/143; 445; 493; dan 506]
[6] Dari Qaz’ah Maula Ziyaad berkata: “Aku mendengar Abu Sa’id (Al Khurdy ra.). yang telah mengukuti dua belas peperangan bersama Nabi saw, berkata: “Empat perkara yang aku dengar dari Rasulullah saw yang membuat aku takjub dan kagum, yaitu: “Janganlah seseoarng wanita safar sejauh dua hari (perjalanan) tanpa disertai suami atau mahramnya, janganlah berpuasa pada dua hari Idul Fitri dan Idul Adha, janganlah sholat setelah mengerjakan dua sholat yaitu setelah sholat Asar dan setelah sholat Subuh sampai terbit matahari, dan janganlah berepergian jauh kecuali menuju 3 masjid: Masjidil Haram, masjidku (Masjidil Nabawi), dan masjidil Aqsho.”[HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/73), Muslim (hlm 976) dan Ahmad III/34 dan 45)
[7] “ Wahai Ali (Ali bin Abu Thalib), janganlah engkau ikutkan pandangan yang pertama (diampuni) bagimu dan tidak (diampuni) dengan berikutnya.”[HR. Abu Daud No.1837]
[8] Dari ‘Uqabah bin ‘Amir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berhati-hatilah kalian masuk wanita.” Kemudian seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?”Rasulullah menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” [HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172]

Komentar